GAYA HIDUP
Dulu, ikatan kekerabatan berlangsung sangat mesra. Usia
persaudaraan pun bersemi sampai tua. Tiap hari mereka senantiasa kumpul
bersama. Hidup damai, penuh ketentraman, tak tergesa-gesa.
Tapi semenjak masuk era modernisasi berubahlah suasana. Hampir semua
jenis pola hubungan manusia tercabik-cabik mewujud jadi aneka romantika
baru. Terjadi apa yang sesungguhnya kita sama-sama saksikan, kini.
Revolusi industri mulai merenggangkan kasih mesra manusia dengan segala
lingkungannya.
Usia Hubungan Kian Pendek
Manusia memang sedang dipercepat gerak hidupnya. Usia keterlibatan
dan interaksi manusia dengan lingkungan sosial cenderung semakin
singkat. Lebih-lebih masyarakat kota. Pola hubungan kian formal dan
terbatas. Hampir dalam segala jenis hubungan manusia, dengan keluarga,
dengan para tetangga, dengan rumahnya, dengan anak-istrinya, dengan
orang tuanya, dengan handai taulan, karib kerabat, bahkan juga dengan
kekasih pujaan hatinya.
Kalau dulu, ikatan kekerabatan dalam keluarga bisa berlangsung
sepanjang usia, agaknya di masa yang akan datang, harapan ini sulit
diwujudkan. Tingkat perceraian dan perpecahan keluarga akan semakin
tinggi. Kesibukan suami dan isteri yang masing-masing berbeda profesi,
ditunjang oleh mobilitas yang makin tergesa-gesa, berakibat
waktu-interaksi kian pendek. Anak-anak pun terbiasa (akibat dibiasakan)
dalam sentuhan yang kian singkat dan tak mendalam.
Tentu ada pengaruhnya. Rasa keterikatan anak pada orang tua jadi senakin sulit dibuktikan adanya. Rumah tangga pun terancam kohesivitasnya. Hingga ketika ada ‘gangguan’ sedikit saja, ikatan yang sudah lemah begitu rupa, bisa pecah itu keluarga.
Sahabat…Lewat Sambil Mengapung
Ikatan persahabatan pun demikian. Ia lebih menyerupai sebuah sampan
yang meluncur dalam arus riak sungai perubahan. John Barth menangkap
makna peregeseran ini dengan sebuah ungkapan dalam novelnya The Floating Opera,
“Para sahabat kita lewat sambil mengapung; kemudian mereka hanyut terus
dan kita harus percaya saja pada kabar angin atau sama sekali
kehilangan jejak mereka; kemudian mereka muncul kembali dan kita
memperbaharui persahabatan kita sambil menduga keadaannya sekarang atau
mendapati bahwa mereka dan kita sudah tidak lagi saling mengerti”.
“Tak lama lagi”, kata Profesor Eli Ginzberg dari Universitas
Columbia, “kita semua di sini akan jadi manusia tipe metropolitan, tanpa
ikatan atau keterlibatan, bahkan, dengan para sahabat dan tetangga
lama”.
Pun begitu hubungan kita dengan jiran. Max Weber menunjukkan fakta
yang mencolok bahwa manusia yang tinggal dalam kota tak dapat mengenal
tetangganya seakrab apabila mereka tinggal dalam lingkungan masyarakat
yang kecil. Bahkan hubungan dengan tetangga tidak lagi dipandang sebagai
ikatan jangka panjang. Angka rata-rata perpindahan geografis terlalu
tinggi untuk itu. Hubungan ini diharapkan berlangsung selama individu
tinggal di suatu lokasi, suatu jangka waktu yang pada umumnya makin lama
makin pendek.
Setiap kali suatu keluarga pindah, mereka cenderung menggugurkan
sejumlah teman dan kenalan biasa. Setelah ditinggalkan, akhirnya mereka
pun dilupakan. Memang betul ada argumen, perpisahan tidak mesti
mengakhiri semua hubungan. Berpisah bukannya bercerai. Betul, tapi itu
cuma hiburan pelepas duka. Mungkin kita masih mau memelihara kontak
dengan satu atau dua orang teman di tempat tinggal kita yang lama dan
kita pun cenderung memelihara kontak yang sporadis dengan sanak
keluarga. Tetapi pada tiap perpindahan terdapat erosi yang mematikan.
Mula-mula ada lalu-lintas surat-menyurat yang sibuk dan bersemangat.
Mungkin sekali-sekali ada kunjungan atau obrolan telepon. Akan tetapi
frekuensinya berangsur-angsur menurun dan akhirnya berhenti sama sekali.
Ini sudah kenyataan.
Seolah Tersiksa
Yang lebih pendek lagi umumnya ikatan hubungan jasa. Di sini terlibat
para penjual, pengantar barang, pelayan pompa bensin, pengantar susu,
pemangkas rambut, penata rambut dan sebagainya. Pergantian hubungan di
tengah kelompok ini relatif lebih sering. Biasanya kita mengakhiri
hubungan ini tanpa beban mental sama sekali. Tiada sedih, tiada duka.
Wajar saja.
Kita memang hanya tertarik pada efisiensi pedagang sepatu dalam
melayani kebutuhan kita. Kita tidak peduli apakah suaminya seorang
pemabuk, heteroseks, atau homoseks. Karena kita hanya butuh membeli
sepasang sepatu dan bukannya persahabatan, kasih sayang atau kebencian
pedagang itu. Selama penjual sepatu memberikan jasanya yang agak
terbatas itu kepada kita dan dengan demikian memenuhi harapan kita yang
juga agak terbatas, kita tidak mendesaknya untuk percaya kepada Tuhan
kita atau menjaga kebersihan rumahnya, menganut nilai politik kita atau
menikmati makanan dan musik yang sama dengan kita. Kita membiarkannya
bebas dalam segala soal yang lain, sebagaimana ia membiarkan kita bebas
untuk menjadi apa saja atau melakukan apa saja yang tidak mengganggu
kita.
Kita hanya tertegun sejenak ketika seseorang berteriak minta tolong,
dan sambil mengurut dada, kita pun terus melanjutkan pekerjaan dan
perjalanan kita.
Ini gejala baru dalam psikologi masyarakat kota. George Simmel berujar, “Bila
manusia kota bereaksi secara emosional kepada siapa saja yang ia
jumpai, atau memenuhi otaknya dengan segala informasi tentang mereka,
maka batinnya akan diliputi ‘kabut’ (atomized) dan ia akan jatuh ke
dalam kondisi mental yang tak dapat dibayangkan. Ia tak mengerti,
tiba-tiba ia merasa tersiksa”.
Pendek kata secara umum, rata-rata jangka waktu hubungan antar
pribadi dalam hidup kita sekarang ini dan di masa depan akan menjadi
semakin pendek.
Manusia….Mobile
Rata-rata rentang waktu hubungan antar manusia itu adalah akibat
wajar dari meningkatnya jumlah hubungan dan tingginya tingkat mobilitas
hidup masyarakat. Dewasa ini orang kota rata-rata bertemu dengan lebih
banyak orang dalam seminggu dibandingkan dengan orang desa di zaman
feodal setahun, bahkan mungkin seumur hidupnya. Kebanyakan orang yang ia
kenal sama saja seumur hidupnya.
Orang kota mungkin mempunyai suatu kelompok inti yang interaksi
dengan anggotanya bertahan selama periode yang lebih lama, tetapi ia pun
berinteraksi dengan ratusan, atau ribuan orang yang boleh jadi hanya
sekali atau dua kali dijumpainya dan kemudian lenyap sama sekali dari
ingatannya.
Meningkatnya perlawatan mengakibatkan peningkatan jumlah hubungan
sementara. Dalam hal yang satu ini, Amerika memang nomor satu. Dalam
tahun 1967 saja misalnya, 108 juta orang Amerika melakukan 360 juta
perjalanan. Dan perlawatan ini sendiri mencakup jumlah 312 milyar
mil-penumpang. Lebih-lebih lagi perjalanan bisnis dan liburan.
Yang juga menarik adalah data-data tentang gerak perpindahan
masyarakat desa ke kota di Indonesia. Di tahun 1960 misalnya 72 % dari
anak muda yang berumur 15-24 tahun masih bekerja di desa-desa. Pada
tahun 1972 angka tersebut menurun menjadi 60 %, kebalikan dari angka dan
tahun tersebut. Pada tahun 1985, angka ini menurun secara drastis
menjadi 48,5 persen, suatu penurunan rata-rata 1% per tahun dalam kurun
waktu 25 tahun terakhir. Pada tahun 2000, kurang dari 35 % mereka yang
berumur antara 15-24 tahun bekerja di desa. Sungguh suatu perubahan yang
cukup mendasar dalam kurun waktu kurang lebih 20 tahun terakhir ataupun
untuk masa yang akan datang. Dan gerakan mereka itu akan lebih cepat
lagi ketika ada di kota. Umumnya desa pun tinggal kenangan masa lalu
saja.
Good Bye…My Sweet Home
Hubungan kita dengan rumah pun terancam punah. Dulu dalam dunia yang
serba keras, lapar dan berbahaya, rumah, meskipun tak lebih dari sebuah
gubuk, dianggap sebagai tempat berlindung terakhir. Kepustakaan penuh
dengan petunjuk yang baik tentang pentingnya rumah. “Carilah rumah untuk
beristirahat, sebab rumah itu paling ramah” (Seek home for rest, for home is best) adalah kalimat dari “Instruction to Housewifery”,
sebuah buku petunjuk abad ke-16 oleh Thomas Tusser. Masih ada belasan
ungkapan lain yang kini bersarang dalam musium kebudayaan. “A man’s home is his castle…” (Rumah seseorang adalah istananya). “home, sweet home…” (Rumahku, rumahku yang manis).
Kini, orang suka berpindah. Dan apabila seseorang mengakhiri
hubungannya dengan rumahnya, ia pun biasanya mengakhiri hubungan dengan
segala jenis tempat “satelit” di kejiranan itu. Ia berganti pasar-raya,
pompa bensin, terminal bis, dan pemangkas rambut, dan dengan segala
manusia yang pernah ia jumpai di situ, sekalipun pacarnya. Kita sedang
menyaksikan sejarah kemerosotan arti tempat bagi kehidupan manusia.
Pacaran…Sementara Saja
Kegiatan mondar-mandir, bermusafir dan pindah tempat tinggal ini
akhirnya menjadi kebiasaan hidup. Makin besar mobilitas seseorang, makin
banyak pula perjumpaan tatap muka yang singkat, kontak antar manusia
yang sepintas, yang masing-masing merupakan hubungan tertentu yang
fragmentaris dan yang paling penting, dalam waktu yang sangat terbatas.
Louise Wirth kemudian mencatat sifat fragmental hubungan manusia
kota. “Secara karakteristik, para penghuni kota saling bertemu dalam
peran yang sangat segmental…” tulisnya. “Ketergantungan mereka pada
orang lain terbatas pada sebagian aspek yang amat kecil dari lingkungan
kegiatan orang lain itu. Daripada terlibat mendalam dengan setiap insan yang kita jumpai”, katanya menjelaskan, “kita lebih perlu mempertahankan hubungan yang mengambang dan terbatas dengan seseorang”.
Ini pun terjadi dalam hubungan kita dengan sang kekasih. Laki-laki
akan semakin banyak ketemu gadis-gadis cantik yang senantiasa berbeda
tiap ditemuinya. Kaum wanita pun kian banyak melangsungkan hubungan
dengan banyak ragam polah pria. Jadinya, mereka terus diguncang rasa
kesetiaannya. Suatu saat mereka sama-sama bertemu dalam suatu pesta,
lalu saling tertarik…lalu akhirnya akrab…intim…pacaran. Tapi
kedua-duanya sama-sama sibuk. Mereka akan teralih perhatian dalam
pikirannya dari 100% memikirkan kekasih (dulu memang bisa begitu),
menjadi tinggal 50%, sisanya untuk kantor, teman, dan lingkungan
aktivitas lainnya. Hingga suatu saat lain…ia bertemu lagi dengan gadis
atau jejaka lain dalam suatu kesempatan lain. Entah bagaimana…ini pun
bisa menjadi akrab…lalu intim. Begitulah…siklus hubungan pria wanita
akan kian dipersingkat juga. “Duhai, kekasih…sayang ini sulit sekali terelakkan”, bisik kalbunya. “Arus kehidupan ini…mengapa begitu cepat, elaknya membenarkan diri.”
Ngetop Mendadak…
Tidak hanya interaksi-manusia yang kian pendek umurnya, citra dan
perhatian kita pada sesuatu pun pendek usianya. Ia muncul dalam sekejap
lalu segera berlalu, senyap.
Tidak ada produk yang lebih cepat munculnya atau lebih kejam
lenyapnya dariapada orang yang terkenal mendadak, isu yang heboh sesaat,
dan berita yang bertukar dua sampai tiga kali sehari. Perhatian kita
dialihkan dari suatu topik ke topik lain, dari satu tokoh ke tokoh yang
lain, dari isu yang satu ke isu yang lain, dengan kecepatan yang terus
meningkat. Citra itu seperti hinggap sebentar dalam benak, lalu terbang
lagi dan kemudian digantikan citra yang baru lagi., pergi lagi. Demikian
seterusnya.
Ribuan “tokoh” seakan berpawai melewati panggung sejarah masa kini.
Manusia nyata (real) yang dibesarkan dan diproyeksikan oleh media massa,
kemudian disimpan sebagai citra dalam benak jutaan orang yang belum
pernah mengenal mereka, belum pernah mengajak mereka bicara, belum
pernah melihat mereka “secara pribadi”. Mereka menjadi kenyataan, hampir
(dan kadangkala lebih) sama nyatanya seperti orang lain yang mempunyai
hubungan “pribadi” dengan kita.
Kita telah menyaksikan tiba-tiba melonjaknya atau merosotnya
popularitas “gaya rambut Bardot”, “mode Cleopatra”, James Bond dan
Batman, belum lagi tudung lampu Tiffany, kaca mata pop, poster Michael
Jackson atau Lady Diana, bulu mata palsu, dan tak terbilang macam-macam
barang tetek bengek serta keanehan yang dipantulkan atau disesuaikan
dengan cepatnya perubahan budaya pop itu.
Mengomentari media massa, sejarawan Marshall Fishwick menyatakan dengan kecut, “Kita
bahkan belum sempat mengenal baik ‘Pahlawan Super’, ‘Kapten Tampan’ dan
‘Tuan Hebat’, tahu-tahu mereka telah terbang ke luar layar televisi
untuk selamanya”.
‘Drama publik ini”, kata sosiolog Orrin Klapp, pengarang buku yang memukau Symbolic Leader,
“sebagian besar merupakan produk dari teknologi komunikasi yang baru.
Musibah, keresahan, ketololan, persaingan, skandal, lemak babi, biskuit
beracun, boom bank, konglomerat, seakan-akan merupakan hiburan atau
seakan-akan roda rolet politik yang berputar-putar. Yang disukai datang
dan perginya dengan sangat cepat sehingga memusingkan…
Riak informasi telah berubah menjadi gelombang dahsyat yang memecah
dengan hempasan yang makin lama makin cepat, menghantam kita, bagaikan
mencari jalan masuk ke sistem syaraf kita.
Begitulah, usia interaksi dan perhatian manusia, baik terhadap
manusia lain atau lingkungan sosialnya, kian hari, kian pendek, hingga
pola hubungan dan perhatian pun semakin formal dan terbatas. Manusia
semakin jauh dari manusia lainnya.
Yah…beginilah nasib dunia…hidup manusia. Desakan perubahan itu begitu
dahsyat. Desakan itu bahkan sedang kita alami saat ini. Angin kencang
perubahan ini…akankah mengakhiri persahabatan kita yang hakiki, ukhuwah
kita yang baru saja bersemi? Lantas, dimanakah kebahagiaan itu akan kita
pertaruhkan lagi? Atau mungkin…memang begitulah ciri hubungan kita,
nanti. Hubungan singkat? Masyaallah…Bagaimana ini?